BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan pada hakekatnya
adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia yang
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang
produktif secara sosial dan ekonomis. Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat
ditentukan oleh kesinambungan antar upaya program dan sektor, serta
kesinambungan dengan upaya-upaya yang telah dilaksanakan sebelumnya.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan
Indikator Pembangunan Kesehatan?
2.
Apa saja yang termasuk
Indikator Pembangunan Kesehatan?
1.3
Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa itu
Indikator Pembangunan Kesehatan.
2.
Untuk mengetahui apa saja yang
termasuk Indikator Pembangunan Kesehatan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Indikator Pembangunan Kesehatan
Peranan keberhasilan pembangunan kesehatan sangat
menentukan tercapainya tujuan pembangunan nasional, karena dalam rangka
menghadapi makin ketatnya persaingan pada era globalisasi, pendidik yang sehat
akan menunjang keberhasilan program pendidikan dan juga akan mendorong
peningkatan produktivitas dan pendapatan penduduk. Salah satu indikator
keberhasilannya adalah perilaku hidup sehat yang didefinisikan sebagai perilaku
proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari
ancaman penyakit, serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat.
Selanjutnya ada beberapa perilaku hidup sehat yang menjadi sasaran pembangunan
kesehatan dan bila dicermati perilaku-perilaku tersebut melekat pada
masing-masing program kesehatan prioritas seperti KIA, GIZI, immunisasi,
kesling, Gaya hidup dan JKPM. Situasi ini dapat memberi peluang tapi juga
hambatan bagi penanggungjawab program untuk dapat mencapai target perubahan
perilaku bila dilakukan sendiri-sendiri atau dibebankan pada satu program
sektor saja. Karena masalah-masalah kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor
seperti sosial budaya, ekonomi, pendidikan dan lain-lain. Ditambah lagi pada
era disentralisasi dimana setiap daerah mempunyai permasalahan kesehatan lokal
spesifik yang juga mempunyai aspek perilaku yang perlu ditangani secara lokal.
Untuk itu perlu disusun skala prioritas bagi indikator
perilaku hidup sehat agar dapat ditangani secara nasional atau lokal/daerah
dengan tetap mengacu kepada paradigma sehat yang memandang pembangunan
kesehatan lebih menekankan kepada upaya promotif dan preventif tanpa mengesampingkan
kuratif dan rehabilitasi.
Pada dasarnya pembangunan dibidang kesehatan bertujuan
untuk memberikan pelayanan kesehatan secara mudah, merata dan murah. Dengan
meningkatnya pelayanan kesehatan, pemerintah berupaya meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat. Salah satu upaya Pemerintah dalam rangka pemerataan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat adalah dengan penyediaan fasilitas
kesehatan terutama Puskesmas dan Puskesmas Pembantu karena kedua fasilitas
tersebut dapat menjangkau segala lapisan masyarakat hingga kedaerah terpencil.
Upaya pemerintah mengutamakan pembangunan dibidang kesehatan mempunyai beberapa
kepentingan antara lain meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara luas
yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan lebih
dini lagi adalah untuk menurunkan angka kematian bayi/balita. Upaya untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang baik selain dengan penyediaan
berbagai fasilitas kesehatan, juga melalui penyuluhan kesehatan agar masyarakat
dapat berperilaku hidup sehat. Adapun upaya untuk menilai keberhasilan
pembangunan dibidang kesehatan salah satunya adalah dengan berdasarkan situasi
derajat kesehatan. Oleh karena itu derajat kesehatan merupakan keharusan guna
menilai hasil pelaksanaan program kesehatan yang dijalankan. Guna menilai
keberhasilan pembangunan kesehatan maupun sebagai dasar dalam menyusun rencana
untuk masa yang akan datang mutlak diperlukan analisa situasi derajat kesehatan
tersebut.
Dalam analisa sejauh mungkin diungkapkan tentang
faktor-faktor seperti lingkungan, perilaku dan upaya pelayanan kesehatan yang
mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat dan penyebaran menurut waktu, tempat
kejadian sehingga dapat dibuat pula kecenderungan untuk masa yang akan datang.
2.2 Kondisi Umum, Potensi dan
Permasalahan
2.2.1
Upaya Kesehatan
a.
Kesehatan Ibu dan Anak
Angka
Kematian Ibu sudah mengalami penurunan, namun masih jauh dari target MDGs tahun
2015, meskipun jumlah persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan mengalami
peningkatan. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh antara lain kualitas
pelayanan kesehatan ibu yang belum memadai, kondisi ibu hamil yang tidak sehat
dan faktor determinan lainnya. Penyebab utama kematian ibu yaitu hipertensi
dalam kehamilan dan perdarahan post partum. Penyebab ini dapat
diminimalisir apabila kualitas Antenatal Care dilaksanakan dengan baik.
Beberapa
keadaan yang dapat menyebabkan kondisi ibu hamil tidak sehat antara lain adalah
penanganan komplikasi, anemia, ibu hamil yang menderita diabetes, hipertensi,
malaria, dan empat terlalu (terlalu muda <20 tahun, terlalu tua >35 tahun,
terlalu dekat jaraknya 2 tahun dan terlalu banyak anaknya > 3 tahun).
Sebanyak 54,2 per 1000 perempuan dibawah usia 20 tahun telah melahirkan,
sementara perempuan yang melahirkan usia di atas 40 tahun sebanyak 207 per 1000
kelahiran hidup. Hal ini diperkuat oleh data yang menunjukkan masih adanya umur
perkawinan pertama pada usia yang amat muda (<20 tahun) sebanyak 46,7% dari
semua perempuan yang telah kawin.
Potensi
dan tantangan dalam penurunan kematian ibu dan anak adalah jumlah tenaga
kesehatan yang menangani kesehatan ibu khususnya bidan sudah relatif tersebar
ke seluruh wilayah Indonesia, namun kompetensi masih belum memadai. Demikian
juga secara kuantitas, jumlah Puskesmas PONED dan RS PONEK meningkat namun
belum diiringi dengan peningkatan kualitas pelayanan. Peningkatan kesehatan ibu
sebelum hamil terutama pada masa remaja, menjadi faktor penting dalam penurunan
AKI dan AKB.
Peserta
KB cukup banyak merupakan potensi dalam penurunan kematian ibu, namun harus
terus digalakkan penggunaan kontrasepsi jangka panjang. Keanekaragaman makanan
menjadi potensi untuk peningkatan gizi ibu hamil, namun harus dapat
dikembangkan paket pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil yang tinggi
kalori, protein dan mikronutrien.
b.
Kematian Bayi dan Balita
Dalam
5 tahun terakhir, Angka Kematian Neonatal (AKN) tetap sama yakni 19/1000
kelahiran, sementara untuk Angka Kematian Pasca Neonatal (AKPN) terjadi
penurunan dari 15/1000 menjadi 13/1000 kelahiran hidup, angka kematian anak
balita juga turun dari 44/1000 menjadi 40/1000 kelahiran hidup. Penyebab
kematian pada kelompok perinatal disebabkan oleh Intra Uterine Fetal Death (IUFD)
sebanyak 29,5% dan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) sebanyak 11,2%, ini berarti
faktor kondisi ibu sebelum dan selama kehamilan amat menentukan kondisi
bayinya. Tantangan ke depan adalah mempersiapkan calon ibu agar benar-benar
siap untuk hamil dan melahirkan dan menjaga agar terjamin kesehatan lingkungan
yang mampu melindungi bayi dari infeksi.
Untuk
usia di atas neonatal sampai satu tahun, penyebab utama kematian adalah infeksi
khususnya pnemonia dan diare. Ini berkaitan erat dengan perilaku hidup sehat
ibu dan juga kondisi lingkungan setempat.
c.
Usia Sekolah dan Remaja
Penyebab
kematian terbesar pada usia ini adalah kecelakaan transportasi, disamping
penyakit demam berdarah dan tuberkulosis. Masalah kesehatan lain adalah
penggunaan tembakau dan pernikahan pada usia dini (10-15 tahun) dimana pada
laki-laki sebesar 0,1% dan pada perempuan sebesar 0,2%.
Untuk
status gizi remaja, hasil Riskesdas 2010, secara nasional prevalensi remaja
usia 13-15 tahun yang pendek dan amat pendek adalah 35,2% dan pada usia 16-18
tahun sebesar 31,2%. Sekitar separuh remaja mengalami defisit energi dan
sepertiga remaja mengalami defisit protein dan mikronutrien.
Pelaksanaan
UKS harus diwajibkan di setiap sekolah dan madrasah mulai dari TK/RA sampai
SMA/ SMK/MA, mengingat UKS merupakan wadah untuk mempromosikan masalah
kesehatan. Wadah ini menjadi penting dan strategis, karena pelaksanaan program
melalui UKS jauh lebih efektif dan efisien serta berdaya ungkit lebih besar.
UKS harus menjadi upaya kesehatan wajib Puskesmas. Peningkatan kuantitas dan
kualitas Puskesmas melaksanakan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) yang
menjangkau remaja di sekolah dan di luar sekolah. Prioritas program UKS adalah
perbaikan gizi usia sekolah, kesehatan reproduksi dan deteksi dini penyakit
tidak menular.
d.
Usia Kerja dan Usia Lanjut
Selain
penyakit tidak menular yang mengancam pada usia kerja, penyakit akibat kerja
dan terjadinya kecelakaan kerja juga meningkat. Jumlah yang meninggal akibat
kecelakaan kerja semakin meningkat hampir 10% selama 5 tahun terakhir. Proporsi
kecelakaan kerja paling banyak terjadi pada umur 31-45 tahun. Oleh karena itu
program kesehatan usia kerja harus menjadi prioritas, agar sejak awal faktor
risiko sudah bisa dikendalikan. Prioritas untuk kesehatan usia kerja adalah
mengembangkan pelayanan kesehatan kerja primer dan penerapan keselamatan dan
kesehatan kerja di tempat kerja, selain itu dikembangkan Pos Upaya Kesehatan
Kerja sebagai salah satu bentuk UKBM pada pekerja dan peningkatan kesehatan
kelompok pekerja rentan seperti Nelayan, TKI, dan pekerja perempuan.
e.
Gizi Masyarakat
Perkembangan
masalah gizi di Indonesia semakin kompleks saat ini, selain masih menghadapi
masalah kekurangan gizi, masalah kelebihan gizi juga menjadi persoalan yang
harus kita tangani dengan serius. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional 2010-2014, perbaikan status gizi masyarakat merupakan salah satu
prioritas dengan menurunkan prevalensi balita gizi kurang (underweight)
menjadi 15% dan prevalensi balita pendek (stunting) menjadi 32% pada
tahun 2014. Hasil Riskesdas dari tahun 2007 ke tahun 2013 menunjukkan fakta
yang memprihatinkan dimana underweight meningkat dari 18,4% menjadi
19,6%, stunting juga meningkat dari 36,8% menjadi 37,2%, sementara wasting
(kurus) menurun dari 13,6% menjadi 12,1%. Riskesdas 2010 dan 2013
menunjukkan bahwa kelahiran dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) <2500
gram menurun dari 11,1% menjadi 10,2%. Stunting terjadi karena
kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh kemiskinan dan pola asuh tidak
tepat, yang mengakibatkan kemampuan kognitif tidak berkembang maksimal, mudah
sakit dan berdaya saing rendah, sehingga bisa terjebak dalam kemiskinan. Seribu
hari pertama kehidupan seorang anak adalah masa kritis yang menentukan masa
depannya, dan pada periode itu anak Indonesia menghadapi gangguan pertumbuhan
yang serius. Yang menjadi masalah, lewat dari 1000 hari, dampak buruk
kekurangan gizi sangat sulit diobati. Untuk mengatasi stunting,
masyarakat perlu dididik untuk memahami pentingnya gizi bagi ibu hamil dan anak
balita. Secara aktif turut serta dalam komitmen global (SUN-Scalling Up
Nutrition) dalam menurunkan stunting, maka Indonesia fokus kepada
1000 hari pertama kehidupan (terhitung sejak konsepsi hingga anak berusia 2
tahun) dalam menyelesaikan masalah stunting secara terintergrasi karena masalah
gizi tidak hanya dapat diselesaikan oleh sektor kesehatan saja (intervensi
spesifik) tetapi juga oleh sektor di luar kesehatan (intervensi sensitif). Hal
ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan
Nasional Percepatan Perbaikan Gizi.
Tidak
hanya terjadi pada usia balita, prevalensi obesitas yang meningkat juga terjadi
di usia dewasa. Terbukti dari perkembangan prevalensi obesitas sentral (lingkar
perut >90 cm untuk laki2 dan >80 cm untuk perempuan) tahun 2007 ke tahun
2013 antar provinsi. Untuk tahun 2013, tertinggi di Provinsi DKI Jakarta
(39,7%) yaitu 2,5 kali lipat dibanding prevalensi terendah di Provinsi NTT
(15.2%). Prevalensi obesitas sentral naik di semua provinsi, namun laju
kenaikan juga bervariasi, tertinggi di Provinsi DKI Jakarta, Maluku dan
Sumatera Selatan. Mencermati hal tersebut, pendidikan gizi seimbang yang
proaktif serta PHBS menjadi suatu kewajiban yang harus dilaksanakan di
masyarakat.
f.
Penyakit Menular
Untuk
penyakit menular, prioritas masih tertuju pada penyakit HIV/AIDS, tuberculosis,
malaria, demam berdarah, influenza dan flu burung. Disamping itu Indonesia juga
belum sepenuhnya berhasil mengendalikan penyakit neglected diseases seperti
kusta, filariasis, leptospirosis, dan lain-lain. Angka kesakitan dan kematian
yang disebabkan oleh penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi
seperti polio, campak, difteri, pertusis, hepatitis B, dan tetanus baik pada
maternal maupun neonatal sudah sangat menurun, bahkan pada tahun 2014, Indonesia
telah dinyatakan bebas polio.
Kecenderungan
prevalensi kasus HIV pada penduduk usia 15-49 meningkat. Pada awal tahun 2009,
prevalensi kasus HIV pada penduduk usia 15 - 49 tahun hanya 0,16% dan meningkat
menjadi 0,30% pada tahun 2011, meningkat lagi menjadi 0,32% pada 2012, dan
terus meningkat manjadi 0,43% pada 2013. Angka CFR AIDS juga menurun dari
13,65% pada tahun 2004 menjadi 0,85 % pada tahun 2013.
Potensi
yang dimiliki Indonesia dalam pengendalian HIV-AIDS diantaranya adalah telah
memiliki persiapan yang cukup baik, mencakup tata laksana penanganan pasien,
tenaga kesehatan, pelayanan kesehatan (khususnya Rumah Sakit), dan laboratorium
kesehatan. Setidaknya terdapat empat laboratorium yang sudah terakreditasi
dengan tingkat keamanan biologi 3 (BSL 3), yakni Laboratorium Badan Litbang
Kesehatan, Institute of Human Virology and Cancer Biology (IHVCB)
Universitas Indonesia, Institut Penyakit Tropis Universitas Airlangga, dan
Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Usaha
keras yang dilakukan berhasil membawa Indonesia sebagai negara pertama di
Regional Asia Tenggara yang mencapai target TB global yang dicanangkan waktu
itu yaitu Angka Penemuan Kasus (Crude Detection Rate/CDR) diatas 70% dan
Angka Keberhasilan Pengobatan (Treatment Success Rate/ TSR) diatas 85%
pada tahun 2006.
Dalam
RPJMN 2015 - 2019, Indonesia tetap memakai prevalensi TB, yaitu 272 per 100.000
penduduk secara absolut (680.000 penderita) dan hasil survey prevalensi TB 2013
- 2014 yang bertujuan untuk menghitung prevalensi TB paru dengan konfirmasi
bakteriologis pada populasi yang berusia 15 tahun ke atas di Indonesia
menghasilkan : 1). Prevalensi TB paru smear positif per 100.000 penduduk umur
15 tahun ke atas adalah 257 (dengan tingkat kepercayaan 95% 210 - 303) 2).
Prevalensi TB paru dengan konfirmasi bakteriologis per 100.000 penduduk umur 15
tahun ke atas adalah 759 (dengan interval tingkat kepercayaan 95% 590 - 961)
3). Prevalensi TB paru dengan konfirmasi bakteriologis pada semua umur per
100.000 penduduk adalah 601 (dengan interval tingkat kepercayaan 95% 466 -
758); dan 4). Prevalensi TB semua bentuk untuk semua umur per 100.000 penduduk
adalah 660 ( dengan interval tingkat kepercayaan 95% 523 - 813), diperkirakan
terdapat 1.600.000 (dengan interval tingkat kepercayaan 1.300.000 - 2.000.000)
orang dengan TB di Indonesia.
Pengendalian
Penyakit Menular yang termasuk dalam komitmen global seperti malaria juga telah
menunjukkan pencapaian program yang cukup baik. Annual Parasite Incidence (API)
yang menjadi indikator keberhasilan upaya penanggulangan malaria cenderung
menurun dari tahun ke tahun. Secara nasional kasus malaria selama tahun
2005-2012 cenderung menurun dimana angka API pada tahun 1990 sebesar 4,69 per
1000 penduduk menjadi 1,38 per 1000 pada tahun 2013 dan diharapkan pada tahun
2014 dapat mencapai target MDGs yaitu API <1 per 1000 penduduk. Angka awal
tahun 2009 sebesar 1,85% menurun menjadi 1,75% pada tahun 2011, menurun lagi
menjadi 1,69% pada tahun 2012, dan terus menurun menjadi 1,38% pada tahun 2013,
mendekati target 1% pada tahun 2014.
Untuk
penyakit DBD, target angka kesakitan DBD secara nasional tahun 2012 sebesar 53
per 100.000 penduduk atau lebih rendah. Sampai tahun 2013, di Indonesia
tercatat sebesar 45,85 per 100.000 penduduk yang berarti telah melampaui target
yang ditetapkan. Angka Kematian DBD juga mengalami penurunan dimana pada tahun
1968 angka CFR nya mencapai 41,30% saat ini menjadi 0,77% pada tahun 2013.
Dalam
rangka menurunkan kejadian luar biasa penyakit menular telah dilakukan
pengembangan Early Warning and Respons System (EWARS) atau Sistem
Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) merupakan penguatan dari Sistem Kewaspadaan
Dini - Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB). Melalui Penggunaan EWARS ini diharapkan
terjadi peningkatan dalam deteksi dini dan respon terhadap peningkatan trend
kasus penyakit khususnya yang berpotensi menimbulkan KLB.
Dalam
beberapa dasawarsa terakhir, sejumlah penyakit baru bermunculan dan sebagian
bahkan berhasil masuk serta merebak di Indonesia, seperti SARS, dan flu burung.
Sementara itu, di negara-negara Timur Tengah telah muncul dan berkembang
penyakit MERS, dan dimulai di Afrika telah muncul dan berkembang penyakit
Ebola. Penyakit-penyakit baru tersebut pada umumnya adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus, yang walaupun semula berjangkit di kalangan hewan
akhirnya dapat menular ke manusia. Sebagian bahkan telah menjadi penyakit yang
menular dari manusia ke manusia.
g.
Penyakit Tidak Menular
Kecenderungan
penyakit menular terus meningkat dan telah mengancam sejak usia muda. Selama
dua dekade terakhir ini, telah terjadi transisi epidemiologis yang signifikan,
penyakit tidak menular telah menjadi beban utama, meskipun beban penyakit
menular masih berat juga. Indonesia sedang mengalami double burden penyakit,
yaitu penyakit tidak menular dan penyakit menular sekaligus. Penyakit tidak
menular utama meliputi hipertensi, diabetes melitus, kanker dan Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK). Jumlah kematian akibat rokok terus meningkat dari
41,75% pada tahun 1995 menjadi 59,7% di 2007. Selain itu dalam survei ekonomi
nasional 2006 disebutkan penduduk miskin menghabiskan 12,6% penghasilannya
untuk konsumsi rokok.
Oleh
karena itu deteksi dini harus dilakukan dengan secara proaktif mendatangi
sasaran, karena sebagian besar tidak mengetahui bahwa dirinya menderita
penyakit tidak menular. Dalam rangka pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM)
antara lain dilakukan melalui pelaksanaan Pos Pembinaan Terpadu Pengendalian
Penyakit Tidak Menular (Posbindu-PTM) yang merupakan upaya monitoring dan
deteksi dini faktor risiko penyakit tidak menular di masyarakat. Sejak mulai
dikembangkan pada tahun 2011 Posbindu- PTM pada tahun 2013 telah berkembang
menjadi 7225 Posbindu di seluruh Indonesia.
Penyehatan Lingkungan. Upaya penyehatan lingkungan juga
menunjukkan keberhasilan yang cukup bermakna. Persentase rumah tangga dengan
akses air minum yang layak meningkat dari 47,7 % pada tahun 2009 menjadi 55,04% pada tahun 2011. Angka ini
mengalami penurunan menjadi 41,66% pada tahun 2012, akan tetapi kemudian
meningkat lagi menjadi 66,8% pada tahun 2013. Kondisi membaik ini mendekati
angka target 68% pada tahun 2014.
Pada
tahun 2013 proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terhadap air minum
layak adalah 59,8% yang berarti telah meningkat bila dibandingkan tahun 2010
mencapai 45,1%, sedangkan akses sanitasi dasar yang layak pada tahun 2013
adalah 66,8% juga meningkat dari 55,5% dari tahun 2010. Demikian juga dengan
pengembangan desa yang melaksanakan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM)
sebagai upaya peningkatan penyehatan lingkungan, capaiannya terus mengalami
peningkatan.
h.
Kesehatan Jiwa
Permasalahan
kesehatan jiwa sangat besar dan menimbulkan beban kesehatan yang signifikan.
Data dari Riskesdas tahun 2013, prevalensi gangguan mental emosional
(gejala-gejala depresi dan ansietas), sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke atas.
Hal ini berarti lebih dari 14 juta jiwa menderita gangguan mental emosional di
Indonesia. Sedangkan untuk gangguan jiwa berat seperti gangguan psikosis,
prevalensinya adalah 1,7 per 1000 penduduk. Ini berarti lebih dari 400.000
orang menderita gangguan jiwa berat (psikotis). Angka pemasungan pada orang
dengan gangguan jiwa berat sebesar 14,3% atau sekitar 57.000 kasus gangguan jiwa
yang mengalami pemasungan.
Gangguan
jiwa dan penyalahgunaan Napza juga berkaitan dengan masalah perilaku yang
membahayakan diri, seperti bunuh diri. Berdasarkan laporan dari Mabes Polri
pada tahun 2012 ditemukan bahwa angka bunuh diri sekitar 0.5 % dari 100.000
populasi, yang berarti ada sekitar 1.170 kasus bunuh diri yang dilaporkan dalam
satu tahun. Prioritas untuk kesehatan jiwa adalah mengembangkan Upaya Kesehatan
Jiwa Berbasis Masyarakat (UKJBM) yang ujung tombaknya adalah Puskesmas dan
bekerja bersama masyarakat, mencegah meningkatnya gangguan jiwa masyarakat.
i.
Akses dan Kualitas Pelayanan Kesehatan
Sejak
tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 telah terjadi peningkatan jumlah Puskesmas,
walaupun dengan laju pertambahan setiap tahun yang tidak besar (3-3,5%).
Puskesmas yang pada tahun 2009 berjumlah 8.737 buah (3,74 per 100.000
penduduk), pada tahun 2013 telah menjadi 9.655 buah (3,89 per 100.000
penduduk). Dari jumlah tersebut sebagiannya adalah Puskesmas Perawatan, yang
jumlahnya juga meningkat yakni dari 2.704 buah pada tahun 2009 menjadi 3.317
buah pada tahun 2013. Data Risfaskes 2011 menunjukkan bahwa sebanyak 2.492
Puskesmas berada di daerah terpencil dan sangat terpencil yang tersebar pada
353 Kabupaten/Kota.
Peningkatan
jumlah juga terjadi pada Rumah Sakit Umum (RSU) dan Rumah Sakit Khusus (RSK) serta
Tempat Tidurnya (TT). Pada tahun 2009 terdapat 1.202 RSU dengan kapasitas
141.603 TT, yang kemudian meningkat menjadi 1.725 RSU dengan 245.340 TT pada
tahun 2013. Pada tahun 2013, sebagian besar (53%) RSU adalah milik swasta
(profit dan non profit), disusul (30,4%) RSU milik pemerintah Kabupaten/ Kota.
RSK juga berkembang pesat, yakni dari 321RSK dengan 22.877 TT pada tahun 2009
menjadi 503 RSK dengan 33.110 TT pada tahun 2013. Pada tahun 2013, lebih dari
separuh (51,3%) RSK itu adalah RS Bersalin dan RS Ibu dan Anak. Data Oktober
2014 menunjukkan bahwa saat ini terdapat 2.368 RS dan diprediksikan jumlah RS
akan menjadi 2.809 pada tahun 2017, dengan laju pertumbuhan jumlah RS rata-rata
147 per tahun.
Dari
sisi kesiapan pelayanan, data berdasarkan Rifaskes 2011 menunjukkan bahwa
pencapaiannya belum memuaskan. Jumlah admisi pasien RS per 10.000 penduduk baru
mencapai 1,9%. Rata-rata Bed Occupancy Rate (BOR) RS baru 65%. RS
Kabupaten/ Kota yang mampu PONEK baru mencapai 25% dan kesiapan pelayanan PONEK
di RS pemerintah baru mencapai 86%. Kemampuan Rumah Sakit dalam transfusi darah
secara umum masih rendah (kesiapan rata-rata 55%), terutama komponen kecukupan
persediaan darah (41% RS Pemerintah dan 13% RS Swasta).
Kesiapan
pelayanan umum di Puskesmas baru mencapai 71%, pelayanan PONED 62%, dan
pelayanan penyakit tidak menular baru mencapai 79%. Kekurangsiapan tersebut
terutama karena kurangnya fasilitas yang tersedia; kurang lengkapnya obat,
sarana, dan alat kesehatan; kurangnya tenaga kesehatan; dan belum memadainya
kualitas pelayanan. Di Puskesmas, kesiapan peralatan dasar memang cukup tinggi
(84%), tetapi kemampuan menegakkan diagnosis ternyata masih rendah (61%). Di
antara kemampuan menegakkan diagnosis yang rendah tersebut adalah tes kehamilan
(47%), tes glukosa urin (47%), dan tes glukosa darah (54%). Hanya 24% Puskesmas
yang mampu melaksanakan seluruh komponen diagnosis.
2.2.2
Pemberdayaan
Masyarakat Bidang Kesehatan.
Persentase rumah tangga yang mempraktikkan Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS) meningkat dari 50,1% (2010) menjadi 53,9% (2011), dan 56,5%
(2012), lalu turun sedikit menjadi 55,0% (2013). Karena target tahun 2014
adalah 70%, maka pencapaian tahun 2013 tersebut tampak masih jauh dari target
yang ditetapkan. Desa siaga aktif juga meningkat dari 16% (2010) menjadi 32,3%
(2011), 65,3% (2012), dan 67,1% (2013). Target tahun 2014 adalah 70%, sehingga
dengan demikian pencapaian tahun 2013 dalam hal ini sudah mendekati target yang
ditetapkan. Demikian pun dengan Poskesdes yang beroperasi, yang mengalami
peningkatan dari 52.279 buah (2010) menjadi 52.850 buah (2011), 54.142 buah
(2012), dan 54.731 buah (2013). Sedangkan target tahun 2014 adalah 58.500 buah.
Dari pencapaian tersebut jelas bahwa masih terdapat sekitar 45%
rumah tangga yang belum mempraktikkan PHBS, sekitar 30% desa siaga belum aktif,
dan sekitar 13.500 buah (18,75%) poskesdes belum beroperasi (diasumsikan
terdapat 72.000 buah Poskesdes). Telah terjadi perubahan yang cukup besar pada
anggota rumah tangga ≥10 tahun yang berperilaku benar dalam buang air besar,
yakni dari 71,1% pada tahun 2007 menjadi 82,6% pada tahun 2013. Namun ini
berarti bahwa masih ada sekitar 17,4% anggota rumah tangga ≥10 tahun yang
berperilaku tidak benar dalam buang air besar.
Hal yang membuat tidak maksimalnya pelaksanaan promosi kesehatan
dan pemberdayaan masyarakat adalah terbatasnya kapasitas promosi kesehatan di
daerah akibat kurangnya tenaga promosi kesehatan. Berdasarkan laporan Rifaskes
2011, diketahui bahwa jumlah tenaga penyuluh kesehatan masyarakat di Puskesmas
hanya 4.144 orang di seluruh Indonesia. Tenaga tersebut tersebar di 3.085
Puskesmas (34,4%). Rata-rata tenaga promosi kesehatan di Puskesmas sebanyak
0,46 per Puskesmas. Itu pun hanya 1% yang memiliki basis pendidikan/pelatihan
promosi kesehatan.
2.2.3
Aksesibilitas
Serta Mutu Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Aksesibilitas obat ditentukan oleh ketersediaan obat bagi
pelayanan kesehatan. Pada tahun 2013, tingkat ketersediaan obat dan vaksin
telah mencapai 96,82%, meningkat dari pada tahun sebelumnya yang mencapai
92,5%. Walaupun demikian, ketersediaan obat dan vaksin tersebut belum
terdistribusi merata antar-provinsi. Data tahun 2012 menunjukkan terdapat 3
provinsi dengan tingkat ketersediaan di bawah 80%, sementara terdapat 6
Provinsi yang memiliki tingkat ketersediaan obat lebih tinggi dari 100%.
Disparitas ini mencerminkan belum optimalnya manajemen logistik obat dan
vaksin. Untuk itu, perlu didorong pemanfaatan sistem pengelolaan logistik online
serta skema relokasi obat-vaksin antar Provinsi/Kabupaten/Kota yang
fleksibel dan akuntabel.
Pada periode 2010-2014, telah dimulai upaya perbaikan manajemen
logistik obat dan vaksin, salah satunya melalui implementasi e-catalog dan
inisiasi e-logistic obat. Pada tahun 2013, e-catalog telah
dimanfaatkan oleh 432 Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota dan RS
pemerintah, serta menghemat anggaran penyediaan obat hingga sebesar 30%.
Sedangkan e-logistic, sampai dengan tahun 2013 telah terdapat 405
instalasi farmasi Kabupaten/Kota telah memanfaatkan aplikasi ini. Melalui e-logistic,
pemantauan ketersediaan obat dan vaksin akan semakin real time dan
memudahkan pengelolaannya bagi pelaksanaan program kesehatan. Walaupun
ketersediaan obat dan vaksin cukup baik, tetapi pelayanan kefarmasian di
fasilitas pelayanan kesehatan pada umumnya masih belum sesuai standar. Pada
tahun 2013, baru 35,15% Puskesmas dan 41,72% Instalasi Farmasi RS yang memiliki
pelayanan kefarmasian sesuai standar. Penggunaan obat generik sudah cukup
tinggi, tetapi penggunaan obat rasional di fasilitas pelayanan kesehatan baru
mencapai 61,9%. Hal ini terutama disebabkan oleh masih rendahnya penerapan
formularium dan pedoman penggunaan obat secara rasional. Dilain pihak, penduduk
yang mengetahui tentang seluk-beluk dan manfaat obat generik, masih sangat
sedikit, yakni 17,4% di pedesaan dan 46,1% di perkotaan. Pengetahuan masyarakat
tentang obat secara umum juga masih belum baik, terbukti sebanyak 35% rumah
tangga melaporkan menyimpan obat termasuk antibiotik tanpa adanya resep dokter
(Riskesdas 2013).
Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional memiliki potensi untuk
meningkatkan kebutuhan akan obat esensial dan alat kesehatan. Dalam upaya
peningkatan ketersediaan obat dan alat kesehatan yang aman, bermutu, dan
berkhasiat tersebut, pemerintah telah menyusun Formularium Nasional dan e-catalog
untuk menjamin terlaksananya penggunaan obat rasional. Konsep Obat Esensial
diterapkan pada Formularium Nasional sebagai acuan dalam pelayanan kesehatan,
sehingga pelayanan kefarmasian dapat menjadi cost-effective.
Persentase obat yang memenuhi standar mutu, khasiat dan keamanan
terus meningkat dan pada tahun 2011 telah mencapai 96,79%. Sedangkan alat
kesehatan dan PKRT yang memenuhi syarat keamanan, mutu dan manfaat terus
meningkat dan pada tahun 2013 mencapai 90,12% (2013). Sementara itu, mutu
sarana produksi obat, produk kefarmasian lain, alat kesehatan, dan makanan
umumnya masih belum baik, akibat kurang efektifnya pengawasan dan pembinaan.
Tahun 2013, hanya 67,8% sarana produksi obat dan hanya 78,18% sarana produksi
alat kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT) yang memiliki
sertifikasi Good Manufacturing Practices terkini dan memenuhi cara
produksi yang baik. Belum baiknya mutu obat masih diperberat dengan masalah tingginya
harga obat akibat rantai distribusi yang tidak efisien dan bahan baku obat yang
masih diimpor.
Impor bahan baku obat, produk kefarmasian lain dan alat-alat
kesehatan mengakibatkan kurangnya kemandirian dalam pelayanan kesehatan. Hampir
90% kebutuhan obat nasional sudah dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri.
Hanya, industri farmasi masih bergantung pada bahan baku obat impor. Sebanyak
96% bahan baku yang digunakan industri farmasi diperoleh melalui impor.
Komponen bahan baku obat berkontribusi 25-30% dari total biaya produksi obat,
sehingga intervensi di komponen ini akan memberikan dampak bagi harga obat.
Dari sisi sumber daya alam, Indonesia sangat kaya akan tumbuhan
obat. Hasil Riset Tumbuhan Obat dan Jamu (Ristoja) tahun 2012 yang baru menjangkau
20% wilayah tanah air, menghasilkan temuan 1.740 spesies tumbuhan obat. Bila
dukungan pemerintah untuk kemandirian bangsa konsisten, peneliti yang dedikatif
pasti mampu menghasilkan bahan baku obat dari tanah air sendiri. Sejarah
kemandirian bahan baku obat membuktikan bahwa peran regulasi dan komitmen
lintas sektor kesehatan sangat besar untuk keberhasilan pencapaiannya. Pada
tahun 1982-1990, produksi parasetamol mendapat proteksi 100% daripemerintah.
Dengan demikian, prioritas yang harus dilakukan adalah kemandirian bahan baku
obat di samping pengembangan e-catalog dan e-logistic.
2.2.4
Sumber
Daya Manusia Kesehatan
Jumlah SDM kesehatan pada tahun 2012 sebanyak 707.234 orang dan
meningkat menjadi 877.088 orang pada tahun 2013. Dari seluruh SDM kesehatan
yang ada, sekitar 40% bekerja di Puskesmas. Jumlah tenaga kesehatan sudah cukup
banyak tetapi persebarannya tidak merata. Selain itu, SDM kesehatan yang
bekerja di Puskesmas tersebut, komposisi jenis tenaganya pun masih sangat tidak
berimbang. Sebagian besar tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas adalah
tenaga medis (9,37 orang per Puskesmas), perawat-termasuk perawat gigi (13
orang per Puskesmas), bidan (10,6 orang per Puskesmas). Sedangkan tenaga
kesehatan masyarakat hanya 2,3 orang per Puskesmas, sanitarian hanya 1,1 orang
per Puskesmas, dan tenaga gizi hanya 0,9 orang per Puskesmas. Rifaskes
mengungkap data bahwa tenaga penyuluh kesehatan di Puskesmas juga baru mencapai
0,46 orang per Puskesmas.
Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di RS, masih menghadapi
kendala kekurangan tenaga kesehatan di Rumah Sakit. Pada tahun 2013 mencapai
29% dokter spesialis anak, 27% dokter spesialis kandungan, 32% dokter spesialis
bedah, dan 33% dokter spesialis penyakit dalam. Dokter umum yang memiliki STR
berjumlah 88.309 orang, sehingga rasio dokter umum sebesar 3,61 orang dokter
per 10.000 penduduk. Padahal menurut rekomendasi WHO seharusnya 10 orang dokter
umum per 10.000 penduduk. Sementara itu, mutu lulusan tenaga kesehatan juga
masih belum menggembirakan. Persentase tenaga kesehatan yang lulus uji
kompetensi masih belum banyak, yakni dokter71,3%, dokter gigi 76%, perawat 63%,
D3 keperawatan 67,5%, dan D3 kebidanan 53,5%.
2.2.5
Penelitian
dan Pengembangan
Penelitian dan pengembangan kesehatan diarahkan pada riset yang
menyediakan informasi untuk mendukung program kesehatan baik dalam bentuk
kajian, riset kesehatan nasional, pemantauan berkala, riset terobosan
berorientasi produk, maupun riset pembinaan dan jejaring. Salah satu upaya ini
terlihat dari beberapa terobosan riset seperti Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas), Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes), Riset Tanaman Obat dan Jamu
(Ristoja), Riset Khusus Pencemaran Lingkungan (Rikus Cemarling), Riset Budaya
Kesehatan, Riset Kohort Tumbuh Kembang dan Penyakit Tidak Menular (PTM), Riset
Registrasi Penyakit dan Studi Diet Total.
2.2.6
Pembiayaan
Kesehatan
Ketersediaan anggaran kesehatan baik dari APBN (Pusat) maupun APBD
(Provinsi/Kabupaten/Kota) belum mencapai sebagaimana diamanatkan oleh UU No 36
tahun 2009 tentang Kesehatan, yakni 5% APBN serta 10 % APBD (di luar gaji).
Anggaran Kementerian Kesehatan dalam kurun waktu terakhir menunjukkan
kecenderungan meningkat. Pada tahun 2008 Kementerian Kesehatan mendapat alokasi
anggaran dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 18,55
Triliun, dan pada tahun-tahun berikutnya alokasi ini terus meningkat. Tahun
2009 alokasi anggaran Kementerian Kesehatan menjadi Rp 20,93 Triliun, dan
meningkat menjadi Rp 38,61 Triliun pada tahun 2013, dan tahun 2014 sebesar Rp
46,459 Triliun. Kenaikan pada tahun 2014 dialokasikan untuk penyelenggaraan
Jaminan Kesehatan Nasional, sementara alokasi untuk upaya kesehatan menurun.
Meskipun alokasi anggaranmeningkat, namun bila dilihat proporsi anggarannya
ternyata relatif tidak berubah, yakni sekitar 2,5%.
Selain dana dari anggaran Kementerian Kesehatan, pembangunan
kesehatan juga harus didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan agar
Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten, Kota) masing-masing dapat
mengalokasikan minimal 10% dari APBD nya (di luar gaji pegawai) untuk
pembangunan kesehatan. Namun demikian, secara umum alokasi itu baru mencapai
9,37% pada tahun 2012, dengan hanya beberapa provinsi yang dapat mengalokasikan
10- 16%. Pada umumnya provinsi-provinsi baru dapat mengalokasikan dalam kisaran
2-8% dari APBD nya untuk pembangunan kesehatan. Itu pun masih termasuk gaji
pegawai. Untuk tingkat Kabupaten/ Kota, sudah lebih baik, tercatat ada 221
(42,2%) Kab/ Kota yang telah menganggarkan >10% APBD untuk kesehatan.
Selain itu, khusus untuk membantu Pemerintah Kabupaten/Kota
meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan kesehatan masyarakat melalui
Puskesmas, Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menyalurkan dana Bantuan
Operasional Kesehatan (BOK). Pemanfaatan dana BOK ini difokuskan pada beberapa
upaya kesehatan promotif dan preventif seperti KIA-KB, imunisasi, perbaikan
gizi masyarakat, promosi kesehatan, kesehatan lingkungan, pengendalian
penyakit, dan lain-lain, sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal dan MDGs
bidang kesehatan.
Permasalahan dalam penganggaran adalah alokasi anggaran untuk
kuratif dan rehabilitatif jauh lebih tinggi daripada anggaran promotif dan
preventif, padahal upaya promotif dimaksudkan untuk menjaga dan meningkatkan
kesehatan masyarakat yang sehat agar tidak jatuh sakit. Keadaan tersebut
berpotensi inefisiensi dalam upaya kesehatan.
2.2.7
Manajemen,
Regulasi dan Sistem Informasi Kesehatan
Perencanaan kesehatan di tingkat Kementerian Kesehatan pada
dasarnya sudah berjalan dengan baik yang ditandai dengan pemanfaatan IT melalui
sistem e-planning, e-budgeting dan e-monev. Permasalahan yang
dihadapi dalam perencanaan kesehatan antara lain adalah kurang tersedianya data
dan informasi yang memadai, sesuai kebutuhan dan tepat waktu. Permasalahan juga
muncul karena belum adanya mekanisme yang dapat menjamin keselarasan dan
keterpaduan antara rencana dan anggaran Kementerian Kesehatan dengan rencana dan
anggaran kementerian/lembaga terkait serta Pemerintah Daerah atau Pemda
(Kabupaten, Kota, dan Provinsi), termasuk pemanfaatan hasil evaluasi atau
kajian untuk input dalam proses penyusunan perencanaan.
Berkaitan dengan regulasi, berbagai Undang-Undang, Peraturan
Presiden, Peraturan Menteri Kesehatan diterbitkan untuk memperkuat pemerataan
SDM Kesehatan, pembiayaan kesehatan, pemberdayaan masyarakat, perencanaan dan
sistem informasi kesehatan, kemandirian dan penyediaan obat dan vaksin serta
alat kesehatan, penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan upaya
kesehatan lainnya.
BAB III
PENUTUP
3.2 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Rencana Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2015-2019. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/MENKES/52/2015.